Sisi Gelap Industri Game di Indonesia - Dipecat Jam 4, Diusir Jam 5 abahtempurunite-2433948 |
---|
Pengorbanan para Pencipta Hiburan
Quote:Enak dong kerjanya main-main doang.
Kalimat di atas mungkin merupakan kalimat paling menyebalkan dan paling sering didengar orang yang bekerja di industri game. Ketidakpahaman masyarakat umum, terutama di Indonesia, tentang industri game bisa jadi merupakan pemicu utama kalimat tersebut sering kali terdengar.
Pada kenyataannya, industri game jauh lebih gelap daripada apa yang ada di bayangan orang awam. Kisah-kisah tentang pemecatan tak layak, jam kerja yang gila, dan bayaran yang mungkin tidak seberapa sudah menjadi cerita lama bagi para pegiatnya. Dari mulai di negara maju sampai Indonesia yang belum memiliki industri game besar pun kisah duka juga menjadi hal yang cukup sering terjadi.
Dalam artikel ini saya berniat untuk mengompilasikan beberapa kisah duka yang terjadi di industri game lokal. Seluruh cerita disajikan dari sudut pandang orang pertama, dengan semua detail narasumber dan tempat mereka bekerja disamarkan demi keamanan dan kenyamanan seluruh pihak.
Bukannya bermaksud menakuti, tapi melalui artikel ini diharapkan pandangan masyarakat tentang industri game bisa berubah menjadi lebih realistis. Dan jika ada pihak yang merasa familier dengan kisah-kisah yang ada di bawah, mungkin saja kisah-kisah berikut bisa menjadi interospeksi tersendiri.
Selamat membaca!
Quote: 1. Gaji yang tak terbayar
Quote:
Studio tempat saya bekerja bisa dibilang memiliki masalah yang cukup umum di studio game, yaitu menjadi besar terlalu cepat. Kebutuhan untuk bertahan memaksa studio kami untuk membuka proyek game sebagai servis, alias mengerjakan game tergantung pesanan klien.
Sayangnya tim kami yang memiliki idealisme terlalu tinggi menolak melakukannya, sedangkan manajemen yang lebih condong ke bisnis melihat ini sebagai satu-satunya cara bertahan hidup. Pada kenyataannya, memang idealisme saja tidak cukup untuk memastikan perusahaan tetap berjalan.
Dengan kondisi seperti ini, keputusan yang diambil manajemen justru dengan menambah karyawan. Jadi tim pun terbagi menjadi dua, yang khusus untuk mengerjakan game proyek luar untuk pemasukan, dan yang mengerjakan game sendiri. Istilah kasarnya satu pencari nafkah, satu menghabiskan uang untuk hasil yang baru kelihatan di masa depan dalam jangka panjang.
Masalahnya dengan formasi dan cara bekerja seperti ini, perputaran dana tidak mengalir dengan optimal. Pemasukan dari proyek servis tidak cukup untuk menggaji seluruh karyawan, dan yang harus terjadi adalah perusahaan jadi sering berutang pada karyawan. Ada yang gajinya hanya dibayar setengah, ada yang ditunda beberapa bulan, dan lain-lain.
Parahnya lagi, dengan kondisi seperti ini pun manajemen tetap memilih untuk terus menerima karyawan baru. Hal ini semakin dibuat runyam dengan fakta bahwa sebagai orang yang bertanggung jawab untuk Sumber Daya Manusia (SDM) dalam tim, saran-saran saya seakan tidak pernah digubris.
Dengan alur penerimaan karyawan yang terlihat seperti tidak dipertimbangkan sama sekali, saya merasa fungsi saya di dalam tim tidak maksimal. Selain itu, dengan tanggung jawab saya di bagian penerimaan karyawan, saya jelas terus kepikiran, “mau diberi makan apa orang-orang ini?” Melakukan pekerjaan sendiri rasanya seperti membuat orang masuk dalam perangkap.
Tentu saja tim yang masih mempertahankan idealismenya tidak membantu sama sekali. Rasanya ingin betul memberi tahu mereka dengan terang-terangan, “keadaan kita jadi seperti ini juga karena kalian tidak mau mengerjakan proyek servis!”
Pada akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan perusahaan meskipun ada beberapa bulan gaji yang belum terbayar. Bagaimana nasib kantor lama saya sekarang? Saya hanya berharap yang terbaik untuk mereka.
Quote: 2. Cuti abadi
Quote:
Kantor saya yang lama fokus di bidang pengembangan game, dengan dua investor utama dari dua negara yang berbeda. Masalahnya, saat itu salah satu investor enggan memberikan suntikan dana lanjutan dan tidak mau menjual perusahaannya ke pihak lain.
Karena masalah ini, perusahaan terpaksa memangkas biaya operasional dengan mengurangi karyawan dalam jumlah besar. Sayangnya perusahaan tidak menginformasikan alasan pemecatan dengan baik. Yang kami tahu hanya ada ganti haluan bisnis, tapi setelah berbicara dengan petinggi perusahaan lebih dari setahun setelah kejadian, baru ketahuan alasan sebenarnya.
Cukup sedih dan kaget juga karena ketika dipecat, saya sedang cuti seminggu di kampung halaman. Saya sendiri mendapatkan kabar di hari Selasa ketika sedang cuti. Saya baru masuk kembali hari Senin minggu depannya, hanya untuk menerima pesangon dan beres-beres barang.
Saya pribadi lupa berapa jumlah pasti karyawan yang dipecat saat itu, tapi kalau tidak salah untuk jumlahnya ada delapan belas orang. Untungnya perusahaan masih mau bertanggung jawab membayarkan gaji bulan tersebut secara prorata, ditambah dengan dua kali gaji penuh sebagai kompensasi atas pemecatan tersebut.
Dipecat Jam 4, Diusir Jam 5
Spoiler for Video:
Berbeda dengan episode sebelumnya yang terdiri dari dua cerita berbeda, untuk bagian ini saya akan menghadirkan cerita yang sama, namun dari sudut pandang dua orang berbeda.
Kisah yang saya maksud terjadi di awal 2014 lalu dan melibatkan salah satu perusahaan game besar di Indonesia. Di sebuah hari Jumat yang awalnya tampak biasa-biasa saja, tiba-tiba para karyawan dikejutkan dengan kabar bahwa lebih dari lima puluh orang di antara mereka telah kehilangan pekerjaan.
Kabar itu disampaikan kurang lebih pukul empat sore, dan para karyawan yang terkena PHK diperintahkan untuk meninggalkan kantor pukul lima. Perusahaan juga mengatakan akan mengunci akses komputer mereka untuk jaga-jaga agar data kantor tidak diambil oleh karyawan yang dipecat.
Bagaimana detail mengenai kejadian ini? Kami telah mewawancarai beberapa karyawan dari perusahaan tersebut, dan merangkumnya dalam dua sudut pandang: dari perspektif karyawan yang terkena PHK dan dari perspektif karyawan yang menjadi perwakilan untuk memperjuangkan hak mereka. Berikut ceritanya.
Quote: | Dibantu doa – Kisah dari karyawan yang kena PHK
Jujur tidak banyak yang bisa saya ceritakan soal proses pemecatan yang saya alami. Yang terjadi hanya tiba-tiba saja saya dan beberapa kawan menerima email undangan rapat, dan ternyata rapat itu untuk mengumumkan bahwa kami telah dipecat. Metal banget deh, hahaha.
Tentu saja saya merasa sangat terkejut, apalagi saat itu saya baru saja mengajukan permintaan utang ke bank dan diterima oleh bank tersebut. Setelah pemecatan, meskipun perusahaan meminta proses beres-beres berlangsung lebih cepat, tapi saya menghabiskan waktu lebih dari seminggu untuk membawa pulang semua barang-barang pribadi di kantor.
Sudahlah melakukan proses pemecatan mendadak, tim SDM pun kurang transparan soal perhitungan pesangon yang kami terima. Saya pun coba konsultasi ke teman saya yang berprofesi sebagai pengacara untuk bertanya apakah yang dilakukan kantor saya ini sesuai undang-undang berlaku.
Quote:… apakah kantor lama saya membantu mencarikan pekerjaan baru setelah memecat puluhan karyawan? Yah mereka membantu kok, tapi hanya dengan doa, hahaha
Dari teman saya itu, saya mendapatkan informasi dan dukungan yang cukup untuk menuntut hak-hak saya pada kantor. Akhirnya para karyawan yang terkena PHK pun memberanikan diri membawa kasus pemecatan ini ke meja hijau, jika seandainya pesangon tidak diberikan sesuai aturan yang berlaku.
Untungnya kantor kami saat itu menuruti permintaan tersebut, mungkin mereka takut nama baik tercoreng dan akan lebih mengeluarkan banyak uang seandainya repot-repot ikut membawa hal ini ke meja hijau.
Kurang lebih itu sih yang paling berkesan dari kejadian yang menimpa saya beberapa tahun lalu tersebut. Jika ada yang tanya apakah kantor lama saya membantu mencarikan pekerjaan baru setelah memecat puluhan karyawan? Yah mereka membantu kok … tapi hanya dengan doa, hahaha.
Bahkan waktu dipecat, kantor menjanjikan akan memanggil karyawan yang kena PHK seandainya mereka membuka lowongan lagi. Nyatanya lowongan kembali dibuka dua bulan setelah kejadian, tapi mereka lebih fokus ke merekrut orang baru.
Quote: | Perjuangan memastikan hak – Kisah dari perwakilan karyawan
Black Friday, itulah sebutan dari beberapa karyawan untuk kejadian yang menimpa kantor saya beberapa tahun lalu. Berbeda dengan Black Friday modern yang penuh dengan potongan harga, Black Friday yang ini penuh dengan potongan jumlah karyawan. Saya lupa berapa jumlah pastinya, tapi ada lebih dari lima puluh orang kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba hari itu.
Proses pemecatan ini sendiri cukup mengecewakan. Pada saat itu, belum ada yang tahu soal rencana kantor untuk memecat puluhan karyawan sekaligus. Awalnya para kepala departemen diminta untuk mendata tim mereka, dan mengurutkannya dari performa tertinggi sampai terendah. Tidak ada yang menyangka daftar tersebut akan digunakan untuk memilih siapa orang yang akan dipecat, dikiranya hanya sekadar untuk evaluasi.
Perintah ini datang dari kepala studio saat itu. Saya pribadi sempat kesal dengan dia, tapi dia sendiri tidak bisa berbuat banyak karena perintah datang dari dewan direktur. Proses pemecatannya pun telah diarahkan dengan mendetail, jadi dia tidak bisa disalahkan juga. Walaupun begitu, saya tetap kecewa karena dia tidak hadir untuk menemui anak-anak yang dipecat pada hari H.
Beberapa hari sebelum pemecatan, para kepala departemen diberi tahu tentang rencana PHK massal tersebut. Kriteria yang dipilih berdasarkan performa dan juga apakah karyawan tersebut masih dalam masa percobaan atau tidak. Tentu saja para kepala departemen banyak menunjukkan ketidaksetujuan, namun palu telah diketuk dan tidak ada yang bisa dilakukan.
Quote:
Beberapa hari setelahnya, kalau tidak salah sehari sebelum pengumuman, barulah tim SDM mengadakan pertemuan dengan grup perwakilan karyawan. Tentu saja perwakilan yang hadir saat itu tidak terima dengan keputusan dan cara yang diambil untuk melakukannya. Tapi karena semuanya sudah bulat, yang bisa kami pastikan hanyalah anak-anak yang dipecat dapat pesangon dan hak layak.
Quote:… rasanya seperti melihat tukang jagal menggiring sekumpulan sapi ke penjagalan
Sebagian besar perwakilan karyawan merasa sangat kecewa, apalagi karena kami tidak bisa membantu banyak. Oleh karena itu beberapa dari kami memutuskan untuk hadir di ruangan tempat keputusan diumumkan, meskipun saat itu kami tidak diundang.
Jadi di hari H, waktu itu hari Jumat, karyawan yang akan dipecat dipisah jadi beberapa grup dan disuruh berkumpul di ruangan berbeda. Alasannya tentu karena satu ruangan tidak cukup untuk menampung mereka semua. Melihat proses yang tidak manusiawi tersebut rasanya seperti melihat tukang jagal menggiring sekumpulan sapi ke penjagalan.
Dari pengumuman itu dikabarkan bahwa para karyawan harus meninggalkan kantor sesegera mungkin dan akses komputer mereka akan dikunci tepat pada pukul lima. Kontan para karyawan banyak yang merasa bingung, kaget, bahkan ada juga beberapa yang menangis.
Tapi ada kejadian yang menurut saya menarik. Sebelum anak-anak yang terkena PHK dipanggil, karyawan lain tidak mengetahui mengenai hal ini. Baru setelah para karyawan yang kena PHK masuk ruang rapat, informasinya entah bagaimana bisa menyebar. Ketika anak-anak tersebut keluar, depan ruangan sudah dipenuhi oleh kawan-kawan yang menunjukkan dukungan mereka.
Dari situ, tentu saja rencana untuk mengusir mereka tepat jam lima tidak terwujud. Manajemen takut seandainya karyawan yang menjadi korban ada yang kesal dan mulai membocorkan, atau bahkan menghapus, kerjaan kantor.
Quote:anak-anak yang dipecat pun sempat … menyelesaikan pekerjaan yang tertunda meskipun telah dipecat, dan bahkan ada yang ikut main Dota bersama-sama sebelum meninggalkan kantor
Tapi, sebagai perwakilan, kami memberikan jaminan kalau ada apa-apa maka kami yang akan bertanggung jawab. Tim IT kantor pun cukup memberontak dengan tidak menutup akses komputer yang seharusnya ditarik pada pukul lima.
Berkat kekeluargaan ini, anak-anak yang dipecat pun sempat untuk “perpisahan,” dalam artian mereka sempat menyimpan data-data pribadi mereka dulu, menyelesaikan pekerjaan yang tertunda meskipun telah dipecat, dan bahkan ada yang ikut main Dota bersama-sama sebelum meninggalkan kantor.
Untungnya, perusahaan saat itu masih mau bertanggung jawab membayarkan pesangon sesuai undang-undang yang berlaku. Para karyawan pun tidak ditulis terkena PHK, tapi dianggap mengundurkan diri dan mendapatkan surat rekomendasi. Tujuannya agar kejadian ini tidak menjadi batu sandungan untuk mereka mencari kerja di tempat lain.
Tapi belum selesai sampai di situ. Parahnya, dua bulan setelah kejadian ini, manajemen meminta kepala departemen untuk membuka lowongan kembali karena kami kekurangan orang untuk mengerjakan proyek baru. Keputusan yang diambil memang terlalu tergesa-gesa.
Kalau dipikir-pikir, sepertinya PHK yang tujuan utamanya untuk pemecatan malah membuat perusahaan rugi. Sudahlah moral karyawan banyak yang turun, kewajiban membayar pesangon yang tidak kecil, dan dua bulan kemudian perusahaan membuka lowongan lagi. Cukup konyol juga, hahaha.
Kisah-Kisah para Pendiri Studio
Spoiler for Open:
Bagaimana dengan pendiri studio game? Apa kisah-kisah yang mereka miliki? Sama seperti sebelumnya, narasumber kami menolak untuk dipublikasikan identitasnya, namun kami bisa pastikan kalau apa yang diceritakan artikel ini benar adanya dan semoga saja bisa jadi pelajaran bagi kita semua.
Tanpa panjang lebar lagi, mari langsung masuk ke pembahasannya.
Quote: 1. Ketika sumber pemasukan hilang
Saya adalah co-founder dari sebuah studio game lokal. Saya membuat game bersama rekan saya yang saat itu masih duduk di bangku sekolah. Game kami waktu itu dirilis untuk platform yang sudah turun drastis peminatnya sekarang dan diikutkan untuk kompetisi yang diadakan salah satu merek handphone terkenal pada masanya.
Kompetisi tersebut bisa dibilang menjadi gerbang kami untuk semakin serius dalam industri game. Game yang dijual di platform yang sempat populer tersebut pun mulai bisa menghasilkan pemasukan, dan dari sana kami mulai merekrut orang untuk membangun tim sendiri. Meskipun terdengar keren, tapi saat itu kedua co-founder tidak menerima gaji sama sekali, karena seluruh pemasukan dialihkan untuk menggaji karyawan.
Quote:… sebelum berani memakai uang investor, tentunya kita harus berani menggunakan uang sendiri dong
Keputusan akhir untuk merekrut karyawan juga muncul karena kami melihat ada pemasukan yang cukup aktif. Jadi kami beranikan diri untuk memutar uang di SDM. Prinsipnya sebelum berani memakai uang investor, tentunya kita harus berani menggunakan uang sendiri dong.
Sayangnya, beberapa lama kemudian platform andalan kami tersebut gulung tikar karena keputusan bisnis yang harus diambil pemiliknya saat itu. Dengan hilangnya platform tersebut, otomatis hilang juga sumber pemasukan kami.
Untuk tetap bisa bertahan, kami pun coba untuk fokus ke platform baru lagi. Tapi ternyata memang butuh waktu yang tidak singkat untuk memahami pasar baru dan menghasilkan produk dengan kualitas yang sesuai. Ditambah lagi ada biaya operasional kantor lain yang harus dibayarkan, dan jumlahnya juga tidak sedikit.
Quote:
Dalam kondisi yang cukup kritis tersebut, karyawan yang saat itu jumlahnya empat orang, tidak termasuk co-founder, sadar akan keadaan perusahaan. Jadi ketika sudah waktunya memperpanjang kontrak mereka tidak melakukannya.
Sedih sekali sih, padahal kami sama-sama punya mimpi yang sama, tapi ya masa mereka tidak digaji. Staf-staf kami dulu juga punya biaya bulanan yang harus ditanggung kan. Perasaan juga down lah, hahaha. Sudah capek-capek bangun tim, ternyata harus diikhlaskan. Banyak biaya dan waktu yang dulu terasa sia-sia. Tapi ya kami harus realistis.
Setelahnya, selama berbulan-bulan tim kami hanya terdiri dari dua co-founder. Karena anggota tim tinggal dua orang, tentunya runway jadi jauh lebih panjang. Sampai pada akhirnya kami menemukan kesuksesan dengan salah satu game kami di platform yang baru.
Setelah kesuksesan besar tersebut, kami memutuskan untuk mulai perekrutan lagi. Niatnya mau mengambil balik kawan-kawan yang dulu keluar, tapi mereka sudah punya kerjaan lain saat itu. Cukup sayang juga karena semuanya meninggalkan industri game.
Quote:…semuanya memang harus terjadi dan merupakan bagian penting dari perjalanan kami untuk ke titik saat ini
Di perekrutan fase baru ini kami juga jadi lebih ketat. Kalau dulu hanya melihat dari kemampuan teknis, kami juga mulai melihat dari segi kultur calon anggota tim, walaupun untungnya yang dulu semua anggota timnya kebetulan cocok dengan kultur kami.
Intinya sih, dulu waktu menjalani proses perampingan memang terasa sakit. Tapi kalau sekarang lihat ke belakang, semuanya memang harus terjadi dan merupakan bagian penting dari perjalanan kami untuk ke titik saat ini. Hal paling menyakitkan itu ya melihat timnya pergi dan kita tidak bisa melakukan apa-apa. Saya rasa semua founder pemikirannya sama untuk kejadian seperti itu.
Quote: 2. Inti yang pecah
Saya memulai pengalaman membangun studio game bersama seorang kawan. Saat itu kami fokus sebagai software house, dengan saya sebagai desainer sistem dan kawan saya sebagai programmer. Selang beberapa tahun, saya berjumpa dengan teman kuliah dan mengobrol panjang lebar dengan dia. Dari situlah muncul ide untuk membuat studio game.
Studio kami dimulai dari satu orang programmer dan dua orang artis. Meskipun sudah ada pengalaman dengan software house, tidak mudah juga berubah menjadi studio game. Apalagi saat itu tidak ada yang membimbing kami. Semuanya belajar sendiri dari awal.
Waktu baru mulai, terlihat pola pembagian tugas antara co-founder yang cukup jelas, yaitu masing-masing menjadi produser, programmer, dan satu lagi menangani urusan bisnis. Awalnya semua berjalan cukup lancar, bahkan game yang kami kembangkan saat itu memenangkan penghargaan level regional.
Dari kesuksesan fana tersebut kami mulai mencoba membesar, dan hal tersebut bisa dibilang menjadi titik mula kesalahan. Kami mulai menjalankan dua proyek secara paralel dengan co-founder yang tadinya memegang urusan bisnis menjadi produsernya.
Selama menjalankan proyek kedua ini banyak masalah pengembangan terjadi, mulai dari progres yang sering berubah dari rencana awal, penundaan setiap kali ada revisi, produktivitas yang tidak stabil, dan lain-lain. Semua hal ini tentu saja membuang banyak waktu, dan karena kami jalan dengan tabungan sendiri dan belum memiliki pemasukan konstan, uang pun juga terbuang.
Semua semakin diperparah dengan fakta bahwa produk kami saat itu memang tidak terlalu bagus dan produser yang menaganinya tidak terima dan sering marah bila menerima komentar itu.
Dengan waktu dan uang yang semakin terbuang, serta moral tim yang terus menurun, saya mencoba untuk mendorong tim agar kerja lebih semangat, mengingat saat itu kami sedang bekerja sama dengan salah satu penerbit game lokal yang besar.
Quote:
Segala masalah ini semakin diperparah ketika co-founder yang merangkap jadi produser mengatakan kalau ia mau mundur dari secara mendadak. Di hari-hari terakhir pun dia tidak datang ke kantor untuk proses hand over yang baik dan benar, hanya menghilang begitu saja.
Dengan hilangnya co-founder, otomatis tanggungan untuk gaji tim berada di tangan saya semua. Ditambah bulan depannya adalah waktu untuk membagikan THR dan co-founder yang baru cabut itu tidak mau ikut patungan membayarkan THR dan gaji.
Walhasil saya mulai “mengemis” untuk mendapatkan pemasukan, mulai dari mencari investor yang tidak berbuah hasil, sampai menjual aset-aset game yang telah dikerjakan. Pada akhirnya saya menjual game pertama kami ke satu pihak, dan uangnya digunakan untuk membayar satu bulan gaji dan separuh THR karyawan.
Sudah berusaha seperti itu kepada tim pun, anggota tim tidak mengapresiasi dan beberapa lama setelahnya saya baru tahu kalau mereka suka mengolok-olok saya di media sosial masing-masing. Cukup sakit juga rasanya dibegitukan.
Pada akhirnya seluruh studionya pun terpaksa saya bubarkan. Cukup disayangkan memang karena saya menganggap mereka semua sebagai teman, tapi tidak ada yang memahami dengan tenggang rasa kondisi perusahaan saat itu.
Akhirnya sekarang saya fokus ke sebagai pekerja lepas di bidang game demi melanjutkan hidup dan menafkahi anak dan istri. Jelas banyak sekali pelajaran yang saya ambil, termasuk tentang kelemahan-kelemahan saya yang perlu saya atasi.
Quote: 2. Bayar kacang ya dapatnya monyet
Agak susah kalau disuruh cerita kapan studio saya berdiri, karena saat itu saya dan teman-teman kuliah hanya sekadar berpikir, “Hei, kita bikin game yuk,” dan baru mulai serius dengan gaji dan mentor pada tahun ketiga. Jadi dua tahun pertama kami bisa dibilang banyak main-mainnya.
Di dua tahun pertama itu kami terdiri dari empat orang pendiri, dengan kurang lebih empat game yang dirilis. Walaupun memang game pertama kami hanya menghasilkan sekitar Rp50.000 dalam setahun, hahaha.
Setelah kami serius, game yang dikembangkan cukup banyak, sekitar sepuluh game dalam setahun. Meskipun skala game yang berhasil dirilis kecil, tapi ya setidaknya kami merilis semuanya. Sumber pemasukan kami umumnya berasal dari IAP dan iklan dalam game, selain itu juga kadang kami mengikutkan game yang telah rilis ke lomba tertentu dan mendapatkan pemasukan dari hadiahnya.
Baru pada tahun keempat kami mulai mengerjakan proyek outsource sebagai sumber pemasukan. Sayangnya pada saat itu para co-founder sudah mulai meninggalkan tim. Ada yang melanjutkan studi ke luar negeri, ada yang bekerja ke perusahaan yang lebih besar, dan bahkan ada yang memang sudah lelah membuat game.
Di antara para co-founder yang lepas, ada satu yang paling mengejutkan saya. Jadi saat itu kami mengontrak sebuah rumah untuk dijadikan kantor, dan co-founder saya tersebut tinggal di sana. Seminggu atau dua minggu sebelumnya dia memang mengabarkan kalau akan pindah kerja ke Jakarta, tapi belum ada kepastian sama sekali.
Tiba-tiba saja suatu hari saya datang ke kantor dan tidak ada orang sama sekali di sana. Saya cek ke kamar pun barang-barang milik kawan saya masih di sana semua. Baru ketika cek SMS saya dikabari kalau secara mendadak dia harus ke Jakarta hari itu karena mendapatkan panggilan. Di SMS yang dikirimnya, ia mengatakan kalau akan kembali dalam beberapa hari.
Ditunggu beberapa minggu kawan saya tersebut tidak kunjung kembali. Ternyata setelah mendapatkan panggilan tersebut ia langsung memulai kerja di Jakarta beberapa hari setelahnya. Baru setelah empat atau lima bulan ia kembali untuk mengambil baju-bajunya yang ditinggal. Sewaktu kembali pun ia hanya membawa charger handphone dan baju yang ia kenakan, entah selama di Jakarta dia pakai apa, hahaha.
Dari situ tinggal tersisa saya dan beberapa karyawan yang direkrut untuk menggantikan para co-founder. Sayangnya tim yang baru ini kurang kuat, selama enam bulan saya hanya bakar duit saja tanpa game yang selesai dikerjakan. Anggota tim pun rata-rata tidak berkomitmen penuh, ada yang sambil kuliah, sambil kerja di startup lain, dan bahkan ada yang datang hanya di malam hari hanya untuk menonton YouTube di kantor.
Saat itu saya pun sibuk mengurus proyek kerja sama untuk menyambung hidup studio. Intinya sih manajemen cukup kacau karena saya tidak bisa fokus mengawasi mereka sambil menggarap proyek yang jadi pemasukan kantor. Rasanya seperti saya kerja hanya untuk membayar mereka tanpa hasil sama sekali. Bahasa kasarnya sih “bayar kacang ya dapatnya monyet”.
Karena duit sudah habis, ya saya terpaksa melepas mereka semua. Reaksi mereka cukup pasrah, karena memang saya menunjukkan pembukuan kantor, dan keuangan untuk bulan depan sudah merah semua. Saya hanya mengatakan kalau masih mau kerja bersama-sama, ya ayo kerja bareng menyelesaikan game yang dibuat, karena memang kantor tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Agak kasihan juga karena saat itu ada yang sedang kredit motor, tapi ya keuangan memang tidak memungkinkan perusahaan untuk terus membayar tanpa menghasilkan karya. Dari situ mulai menghilang dan tidak bermunculan lagi anggota timnya.
Ditambah lagi, pada bulan yang sama saya bertemu dengan orang tua pacar dan ditolak mentah-mentah karena satu dan lain hal. Sudah ditinggalkan tim, kehilangan pasangan pula.
Semenjak itu saya bekerja sendiri. Karena tidak ada pengeluaran ya lebih mudah untuk bertahan hidup. Pemasukan dari game hasil kerja sama sebelumnya pun masih ada, dan kadang juga dapat pemasukan dari diundang menjadi pembicara. Selain itu paling saya jadi pekerja lepas. Cukup susah untuk bikin game sendiri tanpa partner yang melengkapi kemampuan yang kita kurang.
Ada untungnya juga merasakan pengalaman mendirikan studio dengan tim, karena saya jadi tahu cara untuk mengatur duit dan mengencangkan ikat pinggang untuk berhemat. Sekarang pun saya sudah bisa menabung karena tanggung jawab pun hanya untuk diri sendiri.
Layaknya industri apa pun di dunia, selalu ada kisah gelap yang terjadi di dalamnya. Kisah-kisah ini mungkin akan terdengar begitu menyeramkan bagi orang yang asing atau masih terlalu muda untuk menghadapinya, namun terasa begitu sepele di pandangan orang yang telah berpengalaman. Tapi bagaimanapun cara memandang kisah-kisah ini, rasanya cukup penting bagi kita semua untuk selalu ingat bahwa pasang surut kehidupan akan selalu ada.
SUMBER
Source: http://kask.us/inQDg |
---|